twitter



PELUH MATA SANG MENTARI
Karya Wika G Wulandari

Didepan jendela persegi empat itu kau meluapkan segala emosi yang kau pendam. Tak ada percakapan yang kau ciptakan antara kau dan aku. Kau duduk dengan posisi menyerong kearah barat dan mulai mengguncang-guncangkan bahumu. Dalam beberapa menit kemudian tidak ada yang menyadari bahwa luapan air mata telah mewarnai pipimu, bahkan melunturkan bedak baby yang kau pakai tadi pagi sebelum berangkat kesekolah bersamaku. Diatas binder berukuran besar dengan sampul biru, kau mainkan pena biru berkepala cokelat diatas kertas putih yang bersih. Coretanmu mengundang begitu banyak pilu yang tersalurkan lewat air mata.

Aku duduk dikursi pelastik hijau didepan pintu ruangan. Menatap tiga laki-laki remaja yang tengah beradu kekuatan dengan bola dilapangan yang tak cukup luas. Cahaya matahari menerobos lewat sela-sela tangga yang berdiri kukuh didepanku. Aku menengadahkan wajah untuk terus bertahan dibawah terpaan matahari. Lipatan tangan diatas perutku sengaja kukendurkan saat gerombolan kakak kelas lewat didepanku. Aku tidak tahu bahwa kau tengah menangis dibawah atap yang telah reot. Aku bahkan hanya duduk termenung dengan perasaan berkecamuk untuk menantikan matahari tenggelam dan berganti hari esok.

Peluh Mata Sang Mentari
Laki-laki itu mencolek pundakku dan memberitahuku bahwa kau menangis. Aku menghampirimu dengan perasaan biasa. Bagiku keadaanmu yang seperti ini bukanlah sesuatu yang harus kuawali dengan respon kaget disertai perhatian berlebihan. Aku duduk diatas meja yang tergeletak sebagai saksi bisu dihadapanmu. Wajahmu semakin kau tundukkan. Air mata itu mengalir dan jatuh diatas bindermu, dengan sekali hentakan diatas meja aku meraih bindermu dan mencari tulisan apa yang menimbulkan rasa sakit hingga mata itu berani mengeluarkan peluh.
“Semoga dirimu disana ‘kan baik-baik saja untuk selamanya. Disini aku ‘kan selalu rindukan dirimu, wahai sahabatku.”
Barisan kalimat itu yang aku dapatkan diatas kertas putih yang telah tercoret. Aku tersenyum, jadi ini alasannya. Kau takut hari esok datang dan membawaku pergi darimu. Aku maklumi saja, karena kita memang sepasang nyawa yang terus bersama hampir enam bulan terakhir. Tidak heran bila perpisahan yang akan terjadi besok akan menimbulkan rasa sakit yang mendalam. Aku mengusap kepalamu dan melontarkan kata-kata penyemangat. Mungkin dalam hatimu kau menggerutu bahwa aku bisa dengan mudahnya mengatakan kalimat itu karena aku tidak merasakannya. Tapi tahukah kau? Saat kau pergi aku juga merasakan hal yang sama. Tapi tidak ada kalimat penyemangat darimu, kau hentakan roda kopor diatas lantai keramik, mengencangkan jaket hitam ke lekukan tubuhmu, dan melangkah pergi hanya dengan sebuah salam sederhana. Aku jadikan perpisahan waktu itu hanyalah sebuah perpisahan sederhana layaknya kau berangkat kesekolah sedangkan aku tidak.

Aku mencoba untuk tetap kuat disaat hari-hari yang kujalani hambar tanpa kehadiranmu disisiku. Setiap pagi yang menghampiriku aku lewati tanpa suaramu yang biasanya membangunkanku untuk mandi. Ketika kelopak mata kulebarkan didepan ventilasi ganda, yang kudapatkan adalah tempat tidurmu yang masih tertata rapih tanpa ada tubuhmu yang meringkuk diatasnya, walau terdengar gila tapi setiap kali aku melihat tempat tidur itu aku selalu bernganggapan bahwa aku tengah melihatmu terbaring pulas dibawah selimut birumu yang tebal. Itu kulakukan semata-mata agar aku tidak terlau larut dalam kesedihan waktu itu.

Terkadang aku ingin menyalahan waktu, karena dia datang dan membawamu pergi bersamanya. Tapi aku tidak mungkin menyalahkan waktu karena waktu juga yang membawamu datang padaku dan membuka mataku bahwa kau adalah perempuan berharga dalam hidupku. Aku terima setiap pemberian yang diberikan oleh waktu, entah itu berupa kepedihan dan kegembiraan. Aku juga ingin kau menerimanya, tidak menyalahkan waktu saat esok datang dan membawaku pergi darimu.

Waktu adalah seonggok materi yang membawamu mengetahui semua yang tidak kau ketahui. Saat waktu datang dia akan memberikan semua yang telah diagendakan untukmu. Kau tidak mungkin mengelak karena waktu adalah jelmaan dari takdir. Kau hanya mampu menerimanya dengan dua pilihan, tersenyum dan menangis. Pasrah bukanlah satu-satunya jalan untuk menerima kehadiran waktu, ikutlah skenarionya dan jangan pernah mencoba untuk membantah. Pemberian waktu tidak akan jauh dari kebahagiaan dan kepedihan, bila waktu memberimu kepedihan lebih dulu maka bertahanlah untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi bila waktu melemparkan kebahagiaan diawal kalian bertemu maka bersiaplah karena waktu aku membawamu pada kesedihan.

Aku melontarkan sebuah pertanyaan yang sudah ku ketahui jawabannya, hanya saja aku ingin memastikan. Kau menggeleng sebagai pertanda bahwa kau baik-baik saja. Aku tersenyum mendengar jawaban itu, karena begitu banyak kebohongan yang kau tutupi dibalik barisan kalimat yang baru saja kau katakana. Aku mendengus mengerti. Sinar matahari tidak berani meneroboskan cahayanya kedalam ruangan yang memuat seluruh kepedihanmu, hingga seseorang masuk dan mengharuskan kau dan aku untuk segera beralih keruangan yang lain.
***

Didalam ruangan yang gelap itu, kau menumpahkan bobot tubuhmu diatas kursi berkayu tebal yang berwarna cokelat kemerah-merahan. Hanya ada kau, aku dan perempuan itu. Ditemani setan kesunyian kau mulai mengeluarkan suara tangismu dihadapanku. Dalam hati aku bertanya, separah itukah kau melepasku pergi? Lama-kelamaan suara tangismu makin meninggi. Aku menenangkanmu dengan berkata bahwa kita tidak selamanya akan bersama karena masa depan belum tentu setuju akan kebersamaan kita. Namun kau mulai merintih. Aku berkata lagi, belajarlah untuk hidup tanpa aku agar saat waktu memisahkan kita untuk selamanya kau telah mampu untuk berdiri diatas kakimu dan melepasku pergi.

Kau menggeleng hebat sambil mengucapkan, “Susah!” Aku tertawa mendengar responmu. Kau menatapku dengan bola mata yang merah berlapiskan air bening yang terus menerus turun tanpa ada rem yang menahannya. Matamu mengatakan padaku bahwa kau begitu sulit untuk membiarkanku pergi meski pada akhirnya aku akan kembali menemanimu disisi.
“Kebersamaan yang kita alami beberapa bulan yang lalu hanya akan menjadi kenangan paling indah dimasa depan. Biarkanlah semua berjalan sesuai rencana. Jangan terlalu terpengaruh pada desakan waktu yang terus menerus membuatmu terpuruk dan tersungkur. Bertahanlah dan mencobalah untuk tetap hidup meski aku jauh darimu. Kau tahu, dengan kepergianku kau seharusnya menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk belajar memulai aktivitas tanpa bantuanku. Aku sadar untuk melakukan itu semua kau butuh kekuatan dan ketegaran, tapi aku yakin kau mampu melakukannya.” Aku berkata sambil meremas kedua tanganku. Semburat kesedihan yang kupancarkan tertangkap oleh sinyalmu, kau menatapku dengan perasaan bersalah tapi aku menggeleng pelan. Kesedihan ini bukan karena kesalahanmu. Teruslah menangis bila dengan cara itu kau mampu mengumpulkan kekuatanmu.
“Kau tahu? Semua yang pernah kita lalui hanyalah sebuah pengalaman yang biasa saja dimata sang waktu. Tapi teruslah kita untuk mewujudkan lebih banyak kenangan lagi. Kegembiraan yang pernah kita hadirkan begitu ‘murahnya’ bila dibandingkan dengan sesuatu yang dimiliki waktu.” Kataku padamu.

Kau tersenyum lirih sembari menatap bola mataku. Kita saling menatap hingga desiran nafas pun terdengar. Kau menarik nafas sedalam mungkin dan mengusap satu tetes air mata yang hendak jatuh dari ujung matamu. Hingga sesuatu menyambar pikiranmu dan membuatmu kembali terisak didepanku. Aku kaget melihat reaksimu tapi aku mencoba untuk bersikap biasa. Jilbab hitam yang tergurai hingga menutupi dadamu itu sering kali kau gunakan untuk mengelap peluh mata.
“Sudahlah. Anggap saja aku masih disini bersamamu. Kepergianku bukanlah sesuatu yang perlu kau tangisi. Bergembiralah karena aku akan bertemu keluargaku. Seharusnya rasa senangku bisa mengubah air matamu menjadi senyuman paling indah didunia. Tapi kebahagiaan yang kurasakan tak bisa menular padamu dikarenakan begitu besarnya tembok yang kau buat untuk menangkis segala macam perangsang senyuman. Aku mengerti usahamu. Satu pinta yang ingin kukatakan padamu, bersikaplah dewasa. Masa perjalananmu masih panjang. Jangan terlalu cepat jatuh dan terpuruk diatas tanah hitam. Aku sayang padamu.”

Kau berlari kearahku. Peluh matamu makin membanjiri kearah dagumu. Aliran itu makin menderas mengiri langkah pendekmu kearahku. “Berdiri!” Pintamu. Aku menggeleng. Aku tahu kau ingin memelukku. Aku menolak. Pelukan bukanlah solusi utama untuk melepaskan kepergian seseorang. Kau menarik tanganku. Aku menghentakkannya dan kau terjatuh hingga terjongkok didepanku. Kau menangis sejadi-jadinya. Aku tersenyum melihat peluh matamu yang tak mau diajak berkompromi dengan argumenku.
“Biarkan aku memelukmu.” Ucapmu lirih. Dibawah remang-remang lampu itu kau memohon padaku. Aku tetap kukuh untuk tidak berpelukan.
“Pelukan adalah suatu cara untuk melepaskan seseorang yang tak akan kembali. Apa kau mau aku tidak kembali? Peluklah aku hanya dalam mimpimu. Hapus peluh itu dan tersenyumlah karena aku bahagia.” Kataku pelan sembari melepaskan genggaman tanganmu dibaju batik berwarna hijau tua.

Mungkin aku bukanlah sahabat yang setia bagimu. Karena begitu banyak rahasia yang kututupi darimu. Tentang Dd R yang sudah lama dekat denganku. Tentang perasaanku pada Parlin yang makin prihatin. Tentang kerenggangan hubunganku dengan Ika. Tentang pribadi Wandi yang akhirnya mampu membuatku mengerti bahwa dia tidak pantas untukku. Banyak yang kututupi. Kadang aku ingin mengatakan padamu, tapi melihat begitu banyak beban yang kau tanggung membuatku mengurungkan niat untuk mengungapkan semua.

Tapi ketahuilah suatu hari nanti semuanya akan kuceritakan padamu
Tentang hari-hariku saat kau tak ada. Tentang kebahagiaanku bersamamu. Tentang sakit yang kau tinggalkan, tentang semuanya.
Dan tentang bintang yang jatuh namun tak kau lihat bersamaku.


DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2013/05/peluh-mata-sang-mentari-cerpen.html#ixzz2SvsbYzxE

0 komentar:

Posting Komentar

mp3

Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info